Minggu, Oktober 04, 2009
Berkelana Hingga ke Seantero Dunia
>
Yus Ariyanto
Koleksi batik Ann Dunham.
02/10/2009 23:06
Liputan6.com, Jakarta: Ada suatu masa ketika Ann Dunham begitu kepincut dengan Indonesia. Di negeri ini, ia pernah menikah dengan Lolo Soetoro. Pada 1992, saat telah berpisah dengan Lolo, ia menyelesaikan disertasi antropologi tentang pandai besi tradisional di Jawa. Saat berada di Indonesia pula, ibunda Presiden AS Barack Obama ini sempat membeli puluhan kain batik.
Pada Mei sampai Agustus lalu, 20 lembar kain dan dua selendang milik Ann Dunham dipamerkan di sejumlah kota di Amerika Serikat. Kain-kain batik koleksi Ann Dunham bukan batik yang berkelas istimewa, sebagaimana diakui Maya Soetoro Ng, adik Obama. "Ibu saya tak pernah memesan secara khusus. Harganya juga tak mahal. Ia membeli batik antara lain untuk membantu ibu-ibu di desa yang ia kunjungi," kata Maya tentang batik-batik mendiang ibunya yang meninggal pada 1995 itu.
Koleksi batik yang dipamerkan sebagian besar merupakan batik tulis, sisanya merupakan batik cap. Menyangkut asal, lebih dari separuh berasal dari Solo dan Yogyakarta, selebihnya dari Cirebon, Indramayu, Pekalongan, dan Madura.
Ann Dunham pindah ke Jakarta bersama suaminya pada 1967-1972 dan kemudian kembali lagi ke Indonesia pada 1977 untuk kepentingan disertasinya di University of Hawaii, AS. Pada kedatangan yang kedua, ia lebih banyak bergaul dengan masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah. "Ketika kami tinggal di Taman Sari, dekat pasar burung, saya dapat mencium lilin batik dari belakang rumah. Ibu sangat menyukai pasar. Ia senang mengumpulkan benda-benda seni Jawa. Ia berhubungan dengan para pembatik dan penjual batik di pasar," ujar Maya sebagaimana dikutip Kompas.
Tapi, tak perlu mesti tinggal di Indonesia untuk terpesona pada batik. Komunitas diplomatik di Jenewa, Swiss, terpesona dengan batik Indonesia usai acara peragaan busana yang digelar pada acara resepsi diplomatic. "Beautiful, fascinating, super, extraordinaire," adalah sejumlah pujian yang terlontar.
Dalam acara resepsi diplomatik yang diselenggarakan Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Jenewa, selain ditampilkannya ragam corak Batik Indonesia, juga diperagakan sampel kain dan peralatan yang mempertontonkan tahapan-tahapan pembuatan batik tulis.
Dari pembuatan motif awal yang menggunakan pensil, pencelupan sampai tahap pengeringan batik ditampilkan dengan menarik. Para hadirin yang telah terpesona menjadi kian kagum setelah mengetahui betapa kompleks cara pembuatan batik tulis yang dikuasai dengan baik dan turun-temurun di Indonesia.
Sebagai benda seni, batik gampang membetot perhatian. Sebagai benda ekonomi, batik juga punya kontribusi. Pada 2008, nilai ekspor batik Indonesia ke beberapa negara mencapai US$ 125 juta (sekitar Rp 1,25 miliar). Berdasarkan catatan Departemen Perindustrian (Depperin), terdapat 20 ribu unit usaha kecil dan menengah (UKM) batik di seluruh Indonesia dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 50 ribu orang.
Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM) Depperin, Fauzi Aziz, mengatakan, saat ini penjualan produk batik masih lebih banyak menyasar pasar domestik ketimbang ekspor. Pada kenyataannya, pasar ekspor memang masih terbuka. Lihat saja, pasar di Afrika belum tersentuh pengusaha dan pengrajin batik Indonesia. Padahal, menurut Koordinator Forum Masyarakat Batik Indonesia, Iman Sucipto Umar, masyarakat Afrika sangat berminat pada batik Indonesia.
Namun, untuk menembus pasar Afrika, pengusaha mesti melakukan inovasi batik agar sesuai dengan selera masyarakat Afrika. Pasalnya, selera tiap negara berbeda. Eropa dan Jepang yang telah ditembus, misalnya, lebih menyukai batik dengan warna-warna terang.
Peluang pemasaran industri batik di luar negeri masih terbuka lebar, dengan syarat, "Kita bisa menjaga komitmen dengan konsumen," kata perajin batik Masnedi Masina kepada wartawan di Cirebon, beberapa waktu lalu. Masnedi, yang juga Sekretaris Koperasi Batik Trusmi Cirebon itu, menjelaskan ia sudah lama menjalin hubungan dengan konsumen di Jepang dalam memasarkan batik tulis khas Cirebon. Menurutnya, konsumen Jepang sangat menghargai karya seni batik dan setiap tahun terus memesan sekitar 30 batik dengan harga di atas Rp 2 juta per lembar.
Mengenai harga, konsumen Jepang sangat paham karena membeli batik layaknya membeli sebuah karya seni. Tak heran jika sekitar 95 persen batik tulis karya Masnedi laris manis di Jepang. "Alhamdulillah, saya membatik sudah generasi ke tujuh dan kini delapan anak dan menantu sudah mewarisi cara-cara membatik yang berkualitas dan terus dikirim ke Jepang," katanya.
Sukses juga diraih Herlin Puspitasari, pemilik rumah mode Esri Silk Batik di Dusun Banjarejo, Desa Besuk, Kecamatan Gurah, Kediri, Jawa Timur. Ia aktif menciptakan motif-motif batik baru yang disebut batik kontemporer. Batik kontemporer Herlin tidak hanya memiliki penggemar eksis di pasar domestik. Batiknya justru menemukan penggemar fanatik di pasar mancanegara. "Melalui eksportir di Bali, batik kami dipasarkan hingga Italia, Jepang, Singapura, dan Malaysia," ujar Herlin kepada Kompas. Ia mengatakan, hampir 80 persen produksi batiknya diekspor. Hanya sebagian kecil yang dijual ke pasar lokal. karena sepertinya, pasar lokal lebih menyukai motif batik tradisional, seperti motif Paranggarudo dan motif Satrio Manah.
Motif batik kontemporer lebih digandrungi kalangan menengah ke atas. Hal itu masuk akal lantaran harga selembar kain batik motif kontemporer karya Herlin berukuran 2 meter x 1,5 meter bisa mencapai Rp 2,5 juta. Harga ini untuk jenis batik tulis buatan tangan.
Ada yang harganya lebih murah, mulai Rp 100.000 per lembar. "Jenisnya batik cap dengan motif kontemporer. Batik cap murah karena bisa diproduksi secara massal dengan biaya lebih murah," ujar Herlin yang pada 2004 mendirikan usaha butik Esri Silk Batik.
Pada awalnya, Herlin tidak punya pengetahuan soal batik. Ia belajar dengan cepat mengenai batik tradisional di Madura. Ia belajar otodidak dari pengalaman dan kegagalan. Di awal membuka usaha, ia menggelar pelatihan gratis untuk masyarakat di sekitar selama tiga bulan. Dari 25 orang yang ikut, hanya tiga orang yang mampu menuangkan malam dengan benar. Urusan membuat motif, Herlin sendiri yang menangani.
Satu lagi kekhasan batik kontemporer Herlin adalah soal warna. Warna motif batiknya dominan hitam dan krem. Warna ini dipilih karena menampilkan kepribadian yang tenang dan elegan bagi penggunanya. Apalagi, jika warna hitam dan krem itu dituangkan di atas kain sutera berkualitas tinggi. Untuk mendapatkan kain sutera, ia berburu ke Bali. Selain sutera, ada juga kain katun, organdi, dan sifon.
Saban dua pekan, Esri Silk Batik sanggup memproduksi 25-30 potong kain batik tulis dengan mempekerjakan 20 karyawan per hari. Ini di luar produksi batik cap yang dibikin untuk memenuhi pesanan khusus. "Kalau batik cap, sehari bisa 20 potong," katanya.
Herlin hanya contoh lain soal masih prospektifnya batik Indonesia di mancanegara. Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu mengatakan, potensi ekspor batik masih terbuka lebar. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Swedia, Jerman, Uni Emirat Arab, dan Prancis merupakan pasar potensial. Tentu, kesempatan itu akan lolos begitu saja jika tak ada upaya serius untuk menggarapnya. (ROM)